Dalam perjalanan hidup di dunia, tentu nya kita tak akan lepas dari kesalahan dan dosa yang udah kita lakukan .
Seiring waktu yang diberikan oleh Allah kepada kita, sudah seharus nya kita pergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang kita miliki sehingga mendorong kita untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik .
Nah dipostingan kali ini saya mau posting info yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu tentang "Introspeksi diri,akhlak yang terlupa"" yang saya copy paste dari www.muslim.or.id .
Semoga bermanfaat ^_^.
Seiring waktu yang diberikan oleh Allah kepada kita, sudah seharus nya kita pergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang kita miliki sehingga mendorong kita untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik .
Nah dipostingan kali ini saya mau posting info yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu tentang "Introspeksi diri,akhlak yang terlupa"" yang saya copy paste dari www.muslim.or.id .
Semoga bermanfaat ^_^.
Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri
Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu
bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,
إن السنن ووجوه الحق
لتأتي كثيرًا على خلاف
الرأي
“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan
dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya
seseorang enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan
tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum
musyrikin ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan pribadi mereka
terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu
dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan
tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang mujtahid
yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa seorang
mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang dilakukannya, hal ini
bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan ijtihad dan
bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak
ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan
melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat
terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari
kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia,
mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan,
kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal
ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada
nabi,
إِنَّهُمْ
قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ
عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka
kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu
Majah].
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi,
enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh
karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan
koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari
kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.
Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri
Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk
mengevaluasi diri adalah sebagai berikut :
Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan
bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari
mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr
radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak
usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu
merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan mengatakan,
فَلَمْ
يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ
حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ
صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku
dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat
sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari].
Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat
usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah
menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di
jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan
mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi
suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling
mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar
dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau
bersabda,
إِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى
كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa
sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa”
[HR. Bukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam
dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi
diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam
menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan seorang
yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan
penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ
خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ
صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ،
وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang
pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang
jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya
ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin
Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu,
Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar
kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,
يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ
اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ
بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف:
199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ
الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ
حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ
كِتَابِ اللَّهِ»
“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman
kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari
orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits
ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena
ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” [HR. Bukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak
tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan
perannya.
Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah
Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah
menyendiri untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah
dilakukan.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا
أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا،
وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan
berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)”
[HR. Tirmidzi].
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا
حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi
dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya
akan beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena
musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kebatilan.
Faedah Mengintrospeksi Diri
Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:
Pertama, musibah terangkat dan hisab diringankan
Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab
terangkatnya musibah dan diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika
seorang senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu mengatakan,
وَإِنَّمَا
يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى
مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي
الدُّنْيَا
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan
hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” [HR.
Tirmidzi].
Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini
kehidupan, maka jalan keluar dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk)
kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa
sallam,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ
الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى
تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba),
mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan
dunia) dan meninggalkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan menimpakan
kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada
ajaran agama”
Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,
حتى يراجعوا دينهم
“Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka”
[Shahih. HR. Abu Dawud].
Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri
merupakan langkah awal terangkatnya musibah dan kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan
akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan
sebab dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan
yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits
yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup
di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari
bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa
yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah.
Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan
lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di
negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka,
raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata
kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan
oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya,
kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah
azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].
Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi
kekeliruan serta keinginan untuk memperbaiki diri setelah dibutakan oleh
kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi hakikat kondisi
mereka.
Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama manusia
Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk
memperbaiki keretakan yang terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ
الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا
يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلٌ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ:
أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan
Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang
memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi
kedua orang ini hingga mereka berdamai” [Sanadnya shahih. HR. Ahmad].
Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang
bermusuhan, tidak lain disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri
sehingga mendorong mereka untuk berdamai?
Keempat, terbebas dari sifat munafik
Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan
yang telah dilakukan merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari
sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,
مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي
إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ
مُكَذِّبًا
“Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan
perbuatanku, melainkan saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang
pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).”
Ibnu Abi Malikah juga berkata,
أَدْرَكْتُ
ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى
نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ
يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ
جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun
dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan
Mikail” [HR. Bukhari].
Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar
mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,
إِنَّمَا
خَافُوا لِأَنَّهُمْ طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى
رَأَوْا مِنَ التَّغَيُّرِ مَا
لَمْ يَعْهَدُوهُ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى
إِنْكَارِهِ فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا دَاهَنُوا
بِالسُّكُوتِ
“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang
hingga mereka melihat berbagai kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak
mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika mereka menjadi seorang
penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].
Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa
dirinya adalah tempatnya salah dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia
terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam dirinya, agar dia
dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga pintu untuk
mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,
إن الله لا يغير
ما بقوم حتى يغيروا
ما بأنفسهم
“Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka
mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).
Manusia merupakan makhluk yang lemah, betapa seringnya dia memiliki pendirian dan
sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran
agama dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri
sehingga melakukan sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran
merupakan perilaku orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya.
Sumber : Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar